10 November 2006

Etnis Tionghoa dan Sumpah Pemuda


Etnis Tionghoa dan Sumpah Pemuda
Oleh Kristan


Awalnya istilah Indonesia merupakan definisi ilmiah bagi kepulauan
Hindia yang di-kenalkan oleh para antropolog Barat, seperti JR
Logan, GSW Earl, dan Adolf Bastian, di penghujung abad ke-19.

Endapan diskursus tersebut telah bertransformasi menjadi suatu
bangsa, tepatnya setelah ji-wa-jiwa mudanya mengucap dik-tum Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Berlaksa bangsa yang sebelumnya terberai ideologi primordialisme
(kedaerahan, kesukuan, keagamaan) bisa bersatu. Masyarakat madani
kita yang mulanya didominasi kental oleh gairah primordial, seperti
Jong Java, Jong Sumatranen, Jong Celebes, Jong Ambon, Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Jong Tionghoa (sejarah mencoba menutupinya) tampak
mengorientasi kiblat.

Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis
(Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung
ideologis bernama keindo- nesiaan.

Walhasil, 17 tahun kemudian, proklamasi kemerdekaan dideklarasikan,
dan lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Terpenuhi sudah syarat
ontologis yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) dalam lembaran sejarah peradaban dunia.


Masyarakat Terbuka
Dalam suatu kesempatan di sela-sela dialog tentang primordialisme,
Mohammad Sobari pernah berujar: "Anggaplah nenek moyang kita yang
terdahulu telah melakukan kesalahan yang tidak disengaja, dengan
menyatakan ada bangsa yang lebih unggul dari yang lain, dan berbagai
text books yang menjurus pada primodialisme dan mungkin
fundamentalisme."

Lebih lanjut Sobari mengatakan, bagaimana jika kita buang jauh-jauh
pemikiran itu dan kita gunakan saja hasil konsensus para pemuda yang
diikrarkan pada 28 Oktober 1928, yang kita kenal sekarang sebagai
Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu
Indonesia.

Dengan semangat berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhineka Tunggal Ika)
mungkin dapat mewujudkan masyarakat yang lebih damai dan terbuka
(open society), yang menurut Karl Kopper, dapat meredam radikalisme
dan fundamentalisme.

Sejak dahulu dalam UUD 1945 (walaupun sudah empat kali diamandemen)
dikenal terminologi Indonesia asli dan dalam Pasal 2 UU
Kewarganegaraan RI 2006 terdapat istilah "asli" yang berbunyi: "Yang
menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang
sebagai warga negara." Sejatinya kata asli memiliki dua dimensi arti
yaitu asal usul (originality) atau sejati (genuine), yang artinya
sejati atau tulen.

Artian asal usul sebenarnya tidaklah mempunyai dasar ilmiah yang
kukuh seperti yang telah lama diuraikan bahwa sebenarnya bangsa-
bangsa di kepulauan Nusantara ini pada dasarnya adalah bangsa
campuran.

Dalam kehidupan politik yang modern pengertian nation (bangsa) tidak
dikaitkan dengan faktor etnisitas, melainkan dengan rasa solidaritas
dengan sesama warga negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan
bernegara.

Keaslian tidaklah terkait pada faktor fisik melainkan pada semangat
patriotisme. Jadi Indonesia yang asli haruslah bermakna Indonesia
yang sejati, yang memiliki semangat cinta Tanah Air dan se- luruh
bangsa, serta memandang semua komponen bangsa sebagai sesama.

Sebagai contoh jika keaslian dikaitkan dengan faktor biologis, maka
etnik Jawa yang tinggal di Suriname atau orang Ambon eks KNIL,
ketika mereka kembali ke Indonesia dan menjadi WNI maka mereka
berhak menjadi presiden.

Jadi seolah-olah lebih berhak dibandingkan dengan etnik Tionghoa,
Arab, India, atau Indo yang telah turun temurun hidup di sini dan
telah berjasa banyak bagi kesejahteraan bangsa. Apakah ini tidak
bertentangan dengan rasa keadilan yang berketuhanan?

Oknum Tionghoa yang mengacaukan ekonomi dan menyebabkan kehancuran
bank, tidak membayar pajak dengan adil, menyelundupkan kekayaan
negara, tidaklah dapat dikategorikan Indonesia yang sejati. Bahkan
tidak dapat dikategorikan ke dalam kelompok Indonesia sama sekali.

Walaupun memakai nama Indonesia dan berbahasa Indonesia dengan fasih
serta mengenal sejarah perjuangan dengan baik. Tidak dapat disangkal
bahwa banyak oknum Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal dalam
bidang ekonomi dan perdagangan dan tentunya tindakan kriminal
lainnya yang cukup menyakitkan bangsa Indonesia secara keseluruhan,
baik etnik Tionghoa maupun Melayu.

Namun di sisi lain kontribusi etnis Tionghoa khususnya dalam
perekonomian Indonesia sangatlah signifikan, hal ini dapat dikaji
dari sejak awal kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara.

Intorduksi teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian seperti
pembuatan gula tebu, tanaman jati, pendulangan emas dan timah,
teknik pengolahan kedelai menjadi tahu, kecap, tauco misalnya
merupakan teknik-teknik yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke
Nusantara.

Atas sumbangsih tersebut mungkin anak cucu mereka kini berhak
menikmati buah karya leluhurnya tersebut.

Dalam kehidupan modern, etnik Tionghoa menyumbangkan tenaganya dalam
bidang perdagangan dan telah menyediakan jutaan lapangan pekerjaan
bagi semua pihak.

Tidak sedikit yang banyak berkarya dalam bidang olahraga, ilmu
pengetahuan, kedokteran, hukum, perhubungan, keteknikan, pendidikan,
dan hampir semua bidang profesi lainnya.

Bahkan ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan
Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perlu
dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie
Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (sekarang rumah
tersebut dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Hingga detik ini sumbangan
etnik Tionghoa dalam berbagai sektor cukup besar.

Tindakan Diskriminatif
Fenomena penjarahan toko-toko milik etnik Tionghoa adalah buah dari
tidak konsistennya produk hukum dari penguasa dalam kaitannya dengan
etnis Tionghoa, serta masih banyaknya tindakan diskriminatif
lainnya.

Contoh paling konkret adalah diskriminasi di bidang birokrasi
seperti masalah SBKRI yang kadang dipelesetkan menjadi "Surat Bukti
Kebodohan Republik Ini" dari arti yang sebenarnya yaitu Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia, kasus pencatatan akta kelahiran,
dan lain-lain.

Kasus-kasus tersebut merupakan salah satu petunjuk masih kuatnya
budaya kesukuan (primordialisme) pada sebagian kalangan di
Indonesia.

Kelompok rasialis ini bukan saja telah merusak etnis tertentu,
melainkan juga telah merusak ekonomi negara secara keseluruhan.
Dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru-baru ini disahkan mudah-
mudahan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Dan juga jangan sampai aturan yang telah disepakati bersama tersebut
dinodai oleh praktek-praktek oknum rasialis yang mungkin masih tetap
ada di bumi Indonesia tercinta ini.

Namun di balik itu semua komunitas Tionghoa Indonesia juga jangan
terlalu terbuai dengan tuntutan hak-haknya semata melainkan juga
harus mengimbanginya dengan kewajibannya sebagai warga negara yang
baik sesuai dengan konstitusi.

Maka dari itu komunitas Tionghoa juga harus belajar membuka diri
menuju open society, sebab terkadang teman-teman Tionghoa juga
sering kali bersikap eksklusif dalam hal ini kurang membaur.

Sebagai contoh, masih banyak orang Tionghoa yang mengguna-kan bahasa
Tionghoa di khasa- nah publik dan hidup berkelompok (pecinan). Hal
ini tanpa disadari tidak sesuai dengan isi Sumpah Pemuda.

Etnis Tionghoa hendaknya memang tidak usah ragu-ragu dalam membina
negara dan bangsa Indonesia karena memang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari negeri ini.

Kontribusi etnis Tionghoa dalam membangun negara dan bangsa
Indonesia tidaklah sedikit.

Mulai sekarang etnis Tionghoa Indonesia haruslah merasa benar-benar
at home di negara ini. Setiap individu Tionghoa harus aktif
menangkis tuduhan-tuduhan yang tidak adil sesuai tugas dan
kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang baik.

Keadaan demografi dan landsekap politik sekarang ini sangatlah
berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homo-
genitas di atas keberagamaan tidaklah mengikuti irama zaman.
Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi juga
multinasional.

Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi
kebudayaan dunia. Indonesia akan menghadapi kenyataan semakin
berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, China, Jepang, Korea,
India, dan sebagainya. Keanekaan tidak hanya antarsuku bangsa yang
telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain.

Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu
konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat
internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia. Selaras dengan
apa yang dikatakan Confucius bahwa Semua Manusia adalah Bersaudara
(All Men are Brothers and Sisters).


Penulis adalah Ketua Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU)

0 comments:

Post a Comment