Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang permanen. Jadi untuk apa kita menyombongkan diri ?

Jadikan segala keberhasilan kita beerkat untuk orang lain. Ingat nasehat orang tua, jangan lupa diri ketika berada di puncak, karena yang beputar akan selalu berputar, berputar perjalanan hidup kita semua.

Jadilah terang di dunia ini, sehingga menyinari kegelapan.

Lebih baik menyalakan sebatang lilin, daripada memaki kegelapan. Jangan berharap orang lain akan menyalakan terang untuk kita, tapi mulailah dari diri masing-masing sehingga terang bisa tercipta untuk kita dan pada akhirnya akan menerangi dunia ini.

Siapa bilang hidup ini tidak adil ?

Kita akan mendapatkan apa yang memang layak kita dapatkan. Jika kita berusaha sedikit, kita pun layak diberi sedikit. Jika kita berusaha lebih banyak, kita pun layak mendapatkan lebih. "We don't always get what we need, we get what we deserve"

Bahagia adalah pilihan

Bahagia tidak selalu ditentukan oleh situasi, tetapi dari pilihan yang kita buat setiap harinya. Apa pun peristiwa yang kita alami, kebahagiaan adalah bagian dari pola pikir kita sendiri.

Apakah uang menjadi prioritas ?

Uang mungkin saja penting, tapi uang bukan segala-galanya dalam hidup ini. Ada cinta, ada harapan, ada kasih sayang yang lebih penting atas semua itu.

26 November 2006

20 November dan ABN AMRO


Bermula pada hari Kamis tanggal 16 November 2006, dimana saya disuruh oleh atasan untuk interview di Bank ABN Amro sebagai programmer ASP.net. Maka berangkatlah saya ke sana, tepatnya di Jalan Djuanda (tidak begitu jauh dari Harmoni).
Setelah di sana (ABN Amro), saya diinterview oleh seorang bapak yang bernama Yudi, beliau adalah IT Manager di perusahaan tersebut. Kurang lebih 15 menit diinterview dengan segala bentuk pertanyaan, saya langsung ditanya kapan bisa mesuk kerja. Ha....ha... "Besok bisa ?", Mungkin senin pak, soalnya saya harus menyelesaikan sedikit kerjaan, begitu alasanku, padahal yang sebenarnya saya siap saja masuk besok. Mengapa ?, karena memang saya sudah nganggur 1 bulan-an di site tempat dimana selama ini saya bekerja.

Setelah hari seninnya masuklah saya hari pertama kerja di ABN Amro, dengan status percobaan 3 bulan, kalau kerja tidak memuaskan, maka harus go out from there!. Siapa takut ??, ayo kita buktikan !!!.
Yang bikin ngak terbiasa adalah keadaan dimana pada biasanya, setelah masuk kantor pagi-pagi, yang biasa dilakukan adalah : buka browser (Mozila Firefox), buka email Yahoo!, buka detik.com, buka kompas, buka b371ny03.blogspot.com. Keadaan itu tidak bisa lagi saya jumpai di ABN Amro. Bayangkan !, untuk memasukkan USB Flash Disk yang biasanya dimasukkan setiap pagi ke komputer saja tidak bisa lagi. Jadi komputer yang disediakan benar-benar dipakai untuk kerja. CD-room pun tinggal kenangan. Datang pagi-pagi, yang bisa dilakukan hanyalah melanjutkan pekerjaan yang belum selesai di hari kemarin. Benar...benar sebuah definisi kerja yang sebenar-benarnya.

Tidak apa-apa, mungkin di situ saya harus didik untuk menghayati dan mencintai pekerjaan, karena memang itulah kewajiban yang harus di laksanakan untuk mendapatkan imbalan dalam arti yang sesungguhnya. Bekerja demi uang, itulah makna kerja yang sesungguhnya. Selamat datang dunia kerja yang sebenarnya, engkau kadang memang membosankanku tapi menghidupkanku dari kematian.

17 November 2006

Kasih



Kasih,
Panjang, Sabar dan Murah hati
Lembut, Jujur dan rendah hati

Kasih,
Melakukan semua yang baik
Setia, dan rela berkorban

Berharap sungguh, saat Kau berseru
berjalan dalam terang kasih-NYa

Bertahan di dalam segala hal
Tuhanlah Kekuatanku...

10 November 2006

Etnis Tionghoa dan Sumpah Pemuda


Etnis Tionghoa dan Sumpah Pemuda
Oleh Kristan


Awalnya istilah Indonesia merupakan definisi ilmiah bagi kepulauan
Hindia yang di-kenalkan oleh para antropolog Barat, seperti JR
Logan, GSW Earl, dan Adolf Bastian, di penghujung abad ke-19.

Endapan diskursus tersebut telah bertransformasi menjadi suatu
bangsa, tepatnya setelah ji-wa-jiwa mudanya mengucap dik-tum Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Berlaksa bangsa yang sebelumnya terberai ideologi primordialisme
(kedaerahan, kesukuan, keagamaan) bisa bersatu. Masyarakat madani
kita yang mulanya didominasi kental oleh gairah primordial, seperti
Jong Java, Jong Sumatranen, Jong Celebes, Jong Ambon, Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Jong Tionghoa (sejarah mencoba menutupinya) tampak
mengorientasi kiblat.

Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis
(Islam), dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung
ideologis bernama keindo- nesiaan.

Walhasil, 17 tahun kemudian, proklamasi kemerdekaan dideklarasikan,
dan lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Terpenuhi sudah syarat
ontologis yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi sebuah negara-
bangsa (nation-state) dalam lembaran sejarah peradaban dunia.


Masyarakat Terbuka
Dalam suatu kesempatan di sela-sela dialog tentang primordialisme,
Mohammad Sobari pernah berujar: "Anggaplah nenek moyang kita yang
terdahulu telah melakukan kesalahan yang tidak disengaja, dengan
menyatakan ada bangsa yang lebih unggul dari yang lain, dan berbagai
text books yang menjurus pada primodialisme dan mungkin
fundamentalisme."

Lebih lanjut Sobari mengatakan, bagaimana jika kita buang jauh-jauh
pemikiran itu dan kita gunakan saja hasil konsensus para pemuda yang
diikrarkan pada 28 Oktober 1928, yang kita kenal sekarang sebagai
Sumpah Pemuda yang berisi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu
Indonesia.

Dengan semangat berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhineka Tunggal Ika)
mungkin dapat mewujudkan masyarakat yang lebih damai dan terbuka
(open society), yang menurut Karl Kopper, dapat meredam radikalisme
dan fundamentalisme.

Sejak dahulu dalam UUD 1945 (walaupun sudah empat kali diamandemen)
dikenal terminologi Indonesia asli dan dalam Pasal 2 UU
Kewarganegaraan RI 2006 terdapat istilah "asli" yang berbunyi: "Yang
menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia
asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang- undang
sebagai warga negara." Sejatinya kata asli memiliki dua dimensi arti
yaitu asal usul (originality) atau sejati (genuine), yang artinya
sejati atau tulen.

Artian asal usul sebenarnya tidaklah mempunyai dasar ilmiah yang
kukuh seperti yang telah lama diuraikan bahwa sebenarnya bangsa-
bangsa di kepulauan Nusantara ini pada dasarnya adalah bangsa
campuran.

Dalam kehidupan politik yang modern pengertian nation (bangsa) tidak
dikaitkan dengan faktor etnisitas, melainkan dengan rasa solidaritas
dengan sesama warga negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan
bernegara.

Keaslian tidaklah terkait pada faktor fisik melainkan pada semangat
patriotisme. Jadi Indonesia yang asli haruslah bermakna Indonesia
yang sejati, yang memiliki semangat cinta Tanah Air dan se- luruh
bangsa, serta memandang semua komponen bangsa sebagai sesama.

Sebagai contoh jika keaslian dikaitkan dengan faktor biologis, maka
etnik Jawa yang tinggal di Suriname atau orang Ambon eks KNIL,
ketika mereka kembali ke Indonesia dan menjadi WNI maka mereka
berhak menjadi presiden.

Jadi seolah-olah lebih berhak dibandingkan dengan etnik Tionghoa,
Arab, India, atau Indo yang telah turun temurun hidup di sini dan
telah berjasa banyak bagi kesejahteraan bangsa. Apakah ini tidak
bertentangan dengan rasa keadilan yang berketuhanan?

Oknum Tionghoa yang mengacaukan ekonomi dan menyebabkan kehancuran
bank, tidak membayar pajak dengan adil, menyelundupkan kekayaan
negara, tidaklah dapat dikategorikan Indonesia yang sejati. Bahkan
tidak dapat dikategorikan ke dalam kelompok Indonesia sama sekali.

Walaupun memakai nama Indonesia dan berbahasa Indonesia dengan fasih
serta mengenal sejarah perjuangan dengan baik. Tidak dapat disangkal
bahwa banyak oknum Tionghoa yang melakukan tindakan kriminal dalam
bidang ekonomi dan perdagangan dan tentunya tindakan kriminal
lainnya yang cukup menyakitkan bangsa Indonesia secara keseluruhan,
baik etnik Tionghoa maupun Melayu.

Namun di sisi lain kontribusi etnis Tionghoa khususnya dalam
perekonomian Indonesia sangatlah signifikan, hal ini dapat dikaji
dari sejak awal kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara.

Intorduksi teknologi pengolahan pangan dan hasil pertanian seperti
pembuatan gula tebu, tanaman jati, pendulangan emas dan timah,
teknik pengolahan kedelai menjadi tahu, kecap, tauco misalnya
merupakan teknik-teknik yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke
Nusantara.

Atas sumbangsih tersebut mungkin anak cucu mereka kini berhak
menikmati buah karya leluhurnya tersebut.

Dalam kehidupan modern, etnik Tionghoa menyumbangkan tenaganya dalam
bidang perdagangan dan telah menyediakan jutaan lapangan pekerjaan
bagi semua pihak.

Tidak sedikit yang banyak berkarya dalam bidang olahraga, ilmu
pengetahuan, kedokteran, hukum, perhubungan, keteknikan, pendidikan,
dan hampir semua bidang profesi lainnya.

Bahkan ada umat Khonghucu (Yap Tjwan Bing) yang menjadi anggota
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan
Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perlu
dicatat pula bahwa sewaktu teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
dibacakan, tempatnya di rumah seorang Tionghoa Khonghucu bernama Sie
Kong Liong, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta (sekarang rumah
tersebut dijadikan Museum Sumpah Pemuda). Hingga detik ini sumbangan
etnik Tionghoa dalam berbagai sektor cukup besar.

Tindakan Diskriminatif
Fenomena penjarahan toko-toko milik etnik Tionghoa adalah buah dari
tidak konsistennya produk hukum dari penguasa dalam kaitannya dengan
etnis Tionghoa, serta masih banyaknya tindakan diskriminatif
lainnya.

Contoh paling konkret adalah diskriminasi di bidang birokrasi
seperti masalah SBKRI yang kadang dipelesetkan menjadi "Surat Bukti
Kebodohan Republik Ini" dari arti yang sebenarnya yaitu Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia, kasus pencatatan akta kelahiran,
dan lain-lain.

Kasus-kasus tersebut merupakan salah satu petunjuk masih kuatnya
budaya kesukuan (primordialisme) pada sebagian kalangan di
Indonesia.

Kelompok rasialis ini bukan saja telah merusak etnis tertentu,
melainkan juga telah merusak ekonomi negara secara keseluruhan.
Dengan adanya UU Kewarganegaraan yang baru-baru ini disahkan mudah-
mudahan hal-hal tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Dan juga jangan sampai aturan yang telah disepakati bersama tersebut
dinodai oleh praktek-praktek oknum rasialis yang mungkin masih tetap
ada di bumi Indonesia tercinta ini.

Namun di balik itu semua komunitas Tionghoa Indonesia juga jangan
terlalu terbuai dengan tuntutan hak-haknya semata melainkan juga
harus mengimbanginya dengan kewajibannya sebagai warga negara yang
baik sesuai dengan konstitusi.

Maka dari itu komunitas Tionghoa juga harus belajar membuka diri
menuju open society, sebab terkadang teman-teman Tionghoa juga
sering kali bersikap eksklusif dalam hal ini kurang membaur.

Sebagai contoh, masih banyak orang Tionghoa yang mengguna-kan bahasa
Tionghoa di khasa- nah publik dan hidup berkelompok (pecinan). Hal
ini tanpa disadari tidak sesuai dengan isi Sumpah Pemuda.

Etnis Tionghoa hendaknya memang tidak usah ragu-ragu dalam membina
negara dan bangsa Indonesia karena memang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari negeri ini.

Kontribusi etnis Tionghoa dalam membangun negara dan bangsa
Indonesia tidaklah sedikit.

Mulai sekarang etnis Tionghoa Indonesia haruslah merasa benar-benar
at home di negara ini. Setiap individu Tionghoa harus aktif
menangkis tuduhan-tuduhan yang tidak adil sesuai tugas dan
kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang baik.

Keadaan demografi dan landsekap politik sekarang ini sangatlah
berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homo-
genitas di atas keberagamaan tidaklah mengikuti irama zaman.
Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi juga
multinasional.

Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi
kebudayaan dunia. Indonesia akan menghadapi kenyataan semakin
berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, China, Jepang, Korea,
India, dan sebagainya. Keanekaan tidak hanya antarsuku bangsa yang
telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain.

Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu
konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat
internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia. Selaras dengan
apa yang dikatakan Confucius bahwa Semua Manusia adalah Bersaudara
(All Men are Brothers and Sisters).


Penulis adalah Ketua Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU)

Relevansi Imlek dengan Khonghucu


Oleh Kristan
:: diambil dari http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua
:: Forum Budaya Tionghoa & Sejarah Tiongkok


BICARA tentang Imlek, tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, tradisi religius, dan sejarah tentunya, karena menurut kaidah ilmu pengetahuan ilmiah, diterima atau tidak Imlek ini memanglah tergantung dari ketiga hal di atas. Imlek, sangat melekat dan membudaya di setiap sanubari orang-orang Tionghoa atau pun keturunan Tionghoa. Kalau mau jujur, ketika menyambut Imlek hampir separuh dari dunia yang dihuni oleh orang Tionghoa terpengaruh oleh hingar bingarnya Imlek. Sama seperti ketika dunia merayakan Idul Fitri dan Natal. Fenomena demikianlah yang terjadi.

Tahun Baru Imlek, tidak bisa dipungkiri, merupakan tradisi. Sebuah tradisi yang religius. Mengapa dikatakan religius? Mari kita mencoba melihat dari etimologi kata religius itu sendiri, di mana arti dari religius adalah pengikatan kembali hubungan dengan Tuhan, re = kembali, ligare = pengikatan. Apa pun bentuk ikatan tersebut baik dengan cara berdoa dan bersyukur kepada Tuhan.

Menurut kebiasaan, tradisi serta sejarahnya, yang paling utama dalam perayaan Imlek adalah dilakukannya upacara syukuran kepada Thian, Tuhan YME atas berkah dan rahmatNya. Bahkan, konon pada zaman Tiongkok kuno upacaranya pun langsung dipimpin oleh kaisar yang berkuasa, dan itu berlangsung dari dinasti ke dinasti.

Makna Imlek yang sebenarnya adalah ucapan syukur kepada Tuhan atas berkat dan rahmatNya yang telah diterima umat manusia sepanjang tahun, yang direpresentasikan dalam momentum yang disebut Imlek. Kebetulan juga, menurut penanggalan bulan/Yin Li ditetapkan jatuh pada musim awal Semi/ Spring, tepatnya 1 Cia Gwee atau hari pertama dan bulan pertama pada awal musim Semi dalam perhitungan berdasarkan penanggalan Lunar, yang tahun ini jatuh pada tanggal 29 Januari 2006.

Sejarah Imlek tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa Tiongkok itu sendiri, baik dilihat dari literatur yang ada atau pun dari segi pengetahuan tentang asal-usul sesuatu (sejarah), seperti mengapa harus disebut Imlek, lalu dari mana perhitungan tahun tersebut berasal, dan aspek- aspek lainnya yang memiliki relevansi sehingga mungkin menjadi fenomena yang cukup penting untuk diketahui lebih lanjut.

David Beckham
Tahun lalu ada sebuah cerita menarik dari David Beckham. Ketika di Tokyo, Jepang, kapten tim Inggris tersebut meluncurkan sepatu David Beckham Limited Edition Predator Pulse yang di seluruh dunia hanya dijual sebanyak 723 pasang. Apa makna angka itu? Angka 7 adalah nomor punggung Beckham di Manchester United dan Inggris, sedang angka 23 adalah angka yang dikenakannya di Real Madrid. Menariknya lagi sepatu itu dilengkapi kotak kain yang diinspirasi dari kekeramatan mistik oriental khususnya Tiongkok di mana ada potongan tulisan Confucius dan sejarah karier Beckham di bukletnya, begitu kata salah seorang PR Adidas yang bernama Thomas Scaihkvan (Koran Tempo, 3 Augustus 2004).

Rupanya, seorang Beckham tidak memisahkan relevansi antara Cina dengan Confucius. Ketika diwawancarai oleh wartawan mengapa dia memakai nama besar Confucius dan Yin Yang, Asia Timur dan Cina pada khususnya, Beckham menjawab sulit sekali dia memisahkan dua nama besar itu.

Usut punya usut ternyata pernyataan Beckham tersebut sinonim dengan pernyataan seorang Sinolog (ahli kebudayaan Tiongkok) dari Inggris yang bernama William Mc Naughton, yang pernah berkomentar tentang Cina, begini katanya, "hal-hal yang diajarkan oleh Confucius adalah hal-hal yang ditanamkan ke dalam sanubari orang Cina selama berabad-abad, maka dari itu tidaklah berlebihan jika dikatakan Cina adalah Confucian (Confucianism), begitu juga halnya Confucianism adalah Cina."

Ternyata ada benarnya juga perkataan Beckham dan Mc Naughton, apalagi kalau kita lihat korelasinya dengan berbagai tradisi dan kebudayaan orang Cina. Diterima atau tidak, semuanya sangat erat sekali hubungannya dengan Confucianism dan Taoism ambil contoh perayaan-perayaan seperti (Ching Ming/Cheng Beng, Dragon Boat Festivals/Pek Chun, Dong Zhi/Tang Cik yang identik dengan perayaan kue Onde, Moon Cake Festivals/ Thiong Chiu Pia, Cap Gow Meh dan perayaan-peraayaan lainnya).

Bahkan Mao Ze Dong/ Mao Tse Tung yang dengan jelas-jelas dalam revolusi kebudayaanya ingin menghilangkan secara total pengaruh dari Confucianism, lucunya telah melakukan dualisme yang kontradiktif membingungkan, di mana di satu sisi Mao menentang Confucianism tapi di sisi lain beliau memakai Confucianism untuk membangkitkan semangat rakyatnya dengan cara mendorong semangat rakyatnya kedalam pemikiran Confucianism itu sendiri.

Hal ini ternyata direpresentasikan dalam Little Red Book (Buku Kecil Merah) karya ketua Mao yang merupakan buku panduan utama bagi penganut kaum komunis di Cina. Hampir semua isi buku tersebut memiliki korelasi yang sangat erat sekali dengan Confucianism (Paul Strathen, Confucius in 90 menits)

Sejarah Imlek
Perayaan Imlek/Yin Li/ Anno Confuciani/Teth (Vietnam) menurut sejarah secara umum dan kenegaraan, dimulai pada zaman dinasti Han sekitar 206 SM-220 M, di mana kaisar pertamanya yang bernama Han Wu Di (keturunan dari Liu Bang yaitu orang yang berhasil menumbangkan dinasti Qin yang tirani 221 SM-207 SM).

Han Wu Di merupakan seorang Confucianist sejati, yang saking sejatinya dia sampai-sampai memakai konsep Confucianisme dalam menjalankan segenap pemerintahannya, dan ternyata jalan yang diambilnya tidaklah salah sebab dinasti Han-lah yang paling sukses dan berhasil dalam sejarah dinasti mana pun di Cina. Dinasti Han juga merupakan dinasti terlama dalam peradaban bangsa Cina, bahkan sampai sekarang pun hampir semua orang Cina merasa sangat bangga jika disebut sebagai orang Han.

Perayaan Imlek sebenarnya sudah ada sejak zaman dinasti Xia (2100-1600 SM), dinasti ini didirikan oleh Yu The Great, yang merupakan penyelamat banjir ketika Cina dilanda air bah.

Penanggalan Imlek yang dihitung berdasarkan perhitungan lunar/bulan ditetapkan oleh Han Wu Di berdasarkan tahun kelahiran Confucius/Khonghucu, yang jatuh pada tahun 551 SM, sehingga terkadang oleh para sarjana barat Imlek dikenal dengan istilah Anno Confuciani karena berdasarkan perhitungan tahun kelahirannya Confucius (Sima Qian, The Great History/Shi Ji).

Dan kebetulan juga karena begitu tepatnya perhitungan lunar bagi kepentingan pertanian dan astronomi Hong Shui, Feng Shui, dan keperluan lainnya perhitungan ini tidak mengalami perubahan yang signifikan sampai dinasti Qing (1644-1911) yang merupakan dinasti terakhir di Cina.

Dari sudut etimologi, perayaan Tahun Baru Musim Semi ini disebut juga Imlek (dialek Fujian) atau Yin Li (dialek Mandarin), yaitu Im = Bulan, Lek = penanggalan, sehingga Imlek berarti penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran bulan jadi berbeda perhitungan dengan penanggalan Yanglek/Masehi yang dihitung berdasarkan peredaran Matahari, Yang = Matahari.

Tahun ini Imlek sudah mencapai tahun yang ke 2557, perhitungan tersebut didapat dari penjumlahan tahun kelahiran Confucius yang jatuh pada 551 SM dengan angka tahun Masehi yang jatuh pada yang ke 2005, 551 + 2007 = 2557.

Perhitungan semacam itu juga terjadi pada Tahun Baru Internasional (pada zaman dahulu disebut juga Tahun Baru Belanda). Bukankah Tahun Baru yang jatuh pada 1 Januari tersebut dihitung berdasarkan angka tahun kelahiran Yesus Kristus?

Baru Terus
Religiusitas Imlek sampai saat ini masih dipertanyakan banyak orang, sebagian besar orang mengatakan bahwa Imlek bukanlah perayaan yang religius bahkan kadang hanya dianggap sebagai perayaan biasa yang tidak mengandung unsur religius apa pun. Dan, lucunya lagi oknum yang berkomentar seperti itu adalah orang Tionghoa yang tidak mengerti sejarah dan budaya sama sekali, yang hanya menggunakan kaca mata ilmu pengetahuan atau ilmiah. Anggapan itu merupakan suatu kekeliruan yang dilestarikan.

Jika dikaji lebih dalam dari sudut ilmu pengetahuan dan kebhinekaan kita sebagai saudara sebangsa, wacana tentang Imlek sekarang ini sangatlah tidaklah komprehensif, tidak ilmiah dan tidak mengandung toleransi. Dalam konteks Indonesia, sebelum era reformasi, terjadi tekanan terhadap etnis keturunan Tionghoa dengan segala perangkatnya. Kebijakan yang diskriminatif dari rezim Orde baru itu tentu tidak perlu dilanjutkan lagi.

Imlek bagi sebagian orang Tionghoa, khususnya yang beragama Khonghucu, merupakan suatu perayaan besar yang sangat sakral/suci. Saat Imlek adalah saat yang baik untuk saling bermaaf-maafan, berkumpul, berdoa, mengucapkan rasa syukur atas berkah dan rahmat yang diberikan oleh Thian Tuhan YME.

Saat Imlek juga adalah saatnya bersuci diri dan memperbaiki diri untuk lebih baik lagi di tahun yang akan datang. Setelah berkumpul dengan sanak saudara, yang merayakannya berkumpul di sebuah komunal center yang dikenal dengan nama Li Dang/Klenteng/Miao (Bio) untuk bergabung dengan seluruh keluarga lain. Bersama-sama mereka melakukan upacara sembahyang besar ke hadirat Thian YME untuk berterima kasih dan memohon berkah dan rahmatNya. Kalau boleh disamakan hal ini mungkin hampir mirip dengan kegiatan umat Islam yang melakukan Shalat Ied di Masjid pada saat hari raya Idul Fitri.

Apa pun bentuk perayaan Imlek, pastilah memiliki suatu makna yang baik dan suci. Bila dihayati baik-baik pula maka dapat membawa kita kepada perdamaian di dunia ini, karena kita semua adalah bersaudara.

Di mana pun orang yang berbudaya berada, dalam hal memperingati perayaan-perayaan yang bermakna, mereka sudah pasti akan menjaga dan melestarikannya. Berkat perkembangan teknologi dan penyebaran informasi yang cepat dunia ini, semua mengalami peralihan, termasuk kekeluargaan. Bentuk keluarga semakin kecil dan kesenjangan generasi pun makin melebar.

Generasi muda mungkin tidak mengetahui asal mula atau sejarah suatu kebudayaan tradisional yang mereka jalani. Namun ingatlah apa yang dikatakan oleh orang hebat di negri ini (Bung Karno), "Janganlah sekali-kali kita meninggalkan sejarah dan budaya bangsa kita ini". Di dalam kata-kata dan perbuatan di masa lalu terletak harta terpendam yang bisa digunakan manusia untuk memperkuat dan meningkatkan watak mereka sendiri.

Dan cara untuk mempelajari masa lalu bukanlah dengan mengekang diri kita sendiri dalam pengetahuan sejarah semata, tetapi melalui penerapan pengetahuan ini, memberikan aktualita kepada masa lalu.

"Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharui lah terus tiap hari, dan jagalah agar baharu selalu selamanya" (The Great Learnin/Da Xue/Pelajaran Agung). Shin Chun Khiong Hi & Shi Nian Khuai Le, Happy Anno Confuciani, Selamat Tahun Baru Imlek 2557, semoga bangsa kita ini dapat terus maju dan menghargai sesama bangsanya. *

Penulis adalah Direktur Eksekutif Confucius Center & Ketua Gemaku (Generasi Muda Khonghucu).

Cina-Tionghoa Dalam Hipotesis Deskriptif


Oleh : Tan Swie Ling*

KEMALANGAN YANG MEMBINGUNGKAN
Suatu hari di awal-awal tahun 1967, penulis berurusan dengan pihak militer. Penulis mengalami masa-masa apes. Diinterogasi oleh seorang Mayor CPM yang namanya sudah tidak teringat lagi. Seingat penulis, penulis bersikap kooperatif. Memberikan jawaban dengan semangat lugu selugu-lugunya pada berbagai pertanyaan yang diajukan pihak interrogator. Keluguan yang namun menghasilkan kemalangan Sebuah kemalangan yang membingungkan. Kebingungan yang mendorong penulis akhirnya selama berpuluh tahun lamanya merenung dan merenung. Bertanya dan bertanya pada diri sendiri. Salah ngomong apa saya waktu itu? Sehingga bernasib apes. Apes. Karena tiba- tiba saja saya terkapar bersama dengan kursi yang saya duduki, dengan muka berlumuran darah yang mengucur dari dahi yang robek dihajar gagang pistol,bersamaan dengan berakhirnya saya mengucapkan kata Tionghoa

KATA TIONGHOA MELEKAT DALAM KENANGAN
Ya, saya ingat. Perkataan Tionghoa itu meluncur keluar dari mulut saya untuk menjawab pertanyaan, apa suku bangsa kamu? Pertanyaan yang diajukan setelah saya menjawab dua pertanyaan berturut-turut sebelumnya. Yaitu apa kebangsaan dan kewarganegaraan kamu? Yang keduanya saya jawab,Indonesia! Saya sudah menerangkan, Indonesia kebangsaan saya. Dan Indonesia pula kewarganegaraan saya. Maka saat saya ditanya apa suku bangsamu?, Mengingat nama saya Tan Swie Ling, maka dalam keluguan, spontan saya menjawab, suku Peranakan Tionghoa. Sedikitpun saya tidak menduga, kalau perkataan Tionghoa yang saya ucapkan akan membuat sedemikian marah perwira yang menginterogasi saya, ketika itu. Kemarahan yang sampai-sampai membuat tangan perwira yang menginterogasi saya bergerak lebih cepat dari ucapan kemarahannya, menghajar saya dengan gagang pistolnya Membuat saya terkapar bersama kursi yang saya duduki. Gerakan tangannya memang lebih cepat dari ucapan kemarahannya. Karena bunyi ucapan kemarahannya yang menggeledek bersamaan dengan debum suara bunyi tinjunya ke atas meja itu, bukan saya dengar sebelum saya di hajar, melainkan pada saat mata saya nanar, berkunang-kunang terhajar gagang pistol sang perwira. Saat itulah saya mendengar pekik kemarahan perwira itu. Cinaaaa!!! Teriaknya membahana..Tidak ada Tionghoa! Kamu Cina! Kamu Cinaaaaa!! Mengerti? Jangan sekali lagi kamu ngomong Tionghoa, ya! Saya tak menyangka, kata Tionghoa yang saya ucapkan ketika itu akan menjadi kemalangan membingungkan yang menimpa saya dan akhirnya melekat dalam kenangan pribadi hingga hari ini.

BUKAN KEBENCIAN INDIVIDU PERWIRA
Maka sejak itu saya berusaha mencari tahu. Mengapa perkataan Tionghoa
membuat seorang perwira marah besar, lepas kendali. Saya mencari tahu.
Apakah perkataan Tionghoa yang saya ucapkan hanya kebetulan saja membuat marahnya seorang perwira secara individual, ataukah perkataan Tionghoa tersebut memang menimbulkan rasa tidak sukanya seluruh perwira?. Dan hasil penelitian saya menerangkan. Bahwa perilaku perwira yang menghajar saya setelah mendengar saya mengucapkan perkataan Tionghoa, bukanlah perilaku individual seorang perwira, melainkan perilaku buah dari sebuah kebijakan sebuah lembaga yang terstruktur. Kebijakan yang berlahiran menyusul diselenggarakannya Seminar AD II Seskoad, 25-31 Agustus 1966. Yang sehubungan dengan Seminar tersebut, Jenderal Soemitro (kini sudah almarhum) dalam memoarnya yang berjudul Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib, antara lain berkata: Dimata saya ORBA ini dari seminar ini. ORBA berasal dari Bandung. Seminar AD II ini yang menjiwai komposisi kabinet, yakni kerjasama ABRI (baca AD) dengan para teknokrat Memoar Jenderal Soemitro juga mengisahkan wajah kebijaksanaan politik beliau semasa menjadi Pangdam Jawa Timur, yaitu menolak dan tidak suka pada apa saja yang berbau Cina.Kata Jenderal Soemitro yang kemudiannya adalah Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dalam memoarnya. Yang berbau Cina saya hilangkan. Saya larang pemakaian bahasa Cina di muka umum. Saya larang mereka melakukan pembukuan dalam bahasa Cina. Jualan dengan memakai bahasa Cina juga saya larang. Tentang agama, saya sarankan mereka memilih agama yang ada di daerahnya, yaitu antara lain Islam,Kristen, Budha dan Hindu. Suku mereka adalah di mana mereka lahir. Saya himbau bagi WNI agar nama diganti dengan nama Indonesia, atau suku di mana mereka lahir. Semua ini saya keluarkan pada tanggal 1 Januari 1967. Tanpa tedeng aling-aling Jenderal Sumitro bertutur tentang segala kebijakannya yang dengan sepenuh kesadaran menindas komunitas Tionghoa di Jatim yang tersarikan dalam sebuah kalimat ringkas. Pendeknya, segala yang berbau Cina, saya larang , sampai kepada kreatifitasnya menyusun hadiah Tahun Baru 1 Januari 1967 berupa paket peraturan yang pada dasarnya melucuti seluruh HAM manusia beretnik Tionghoa di negeri ini. Seperti diubahnya sebutan kata tiongkok/Tionghoa menjadi Cina (Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina No.SE-06/Pres.Kab/6/67), dan berbagai peraturan lain seperti Pelarangan penggunaan bahasa Mandarin, pelarangan melaksanakan tradisi /budaya/adat-istiadat yang dikenal dengan sebutan Inpres No.14/1967 (telah dicabut) dll.

TERSERET DALAM LUMPUR EUFORIA
Sayang hal-hal demikian tidak menarik perhatian pada semua pihak yang memposisikan diri dalam kubu yang pro dan kontra pada masalah sebutan kata Tionghoa maupun Cina. Sehingga terasa menyedihkan bila sejenak kita mengikuti perdebatan mereka yang menolak sebutan Cina dan menuntut untuk disebut sebagai Tionghoa dan sebaliknya. Karena sepertinya sejak bebas dari penindasan Orba, kita justru terseret dalam lumpur eforia buta. Asik beradu argumentasi justru dalam gaya dan semangat Orba itu sendiri. Mereka saling adu kegagahan, antara sesama korban Orde Baru. Baik sesama korban Orde Baru dari orang sekomunitas maupun dengan sesama korban Orde Baru dari etnik lain. Etnik yang tidak jarang benar-benar tidak mengerti (bukannya pura-pura tidak mengerti) tentang nuansa apa yang diselundupkan kedalam perkataan Cina oleh Orde Baru. Sehingga ketika mereka merasa dituntut harus mengganti kata Cina dengan Tionghoa, dalam ketidakmengertiannya, mereka menjadi tidak simpati pada pihak yang menuntut agar disebut sebagai Tionghgoa. Karena dalam benar-benar ketidak mengertiannya, sikap etnik Tionghoa yang semacam itu, dirasakan arogan dan berlebihan. Jadi demi menghindarkan hal-hal yang tidak perlu, rasanya, terutama tokoh-tokoh organisasi yang secara terbuka dan terang-terangan memasang merek Tionghoa. sepatutnya merasa berkewajiban menjernihkan permasalahan, dengan cara melakukan penelitian. Apa sih batasan-batasan kata Cina dan Tionghoa. Tentunya dengan merujuk pada akar sejarahnya. Dengan demikian para tokoh tersebut benar-benar berperan sebagai pemimpin yang tidak membiarkan masyarakat dibawah kepemimpinannya terus lelap dalam eforia buta. Untuk niat semacam itulah tulisan ini disajikan. Disertai harapan dapat berperan mengangkat kita semua sama-sama keluar dari kubangan lumpur eforia.

SEPUTAR SEBUTAN
Sebutan, pada apapun, selalu terkait pada dua pihak. Pihak yang disebut dan pihak yang menyebutnya. Dan sebutan ini, bukanlah sesuatu yang lestari. Sebutan, sepenuhnya terikat dengan keberlakuannya hukum ruang dan waktu. Materi yang sama yang berada di dalam ruang yang sama pula, namun berada dalam kurun waktu berbeda, bisa terjadi memperoleh sebutan yang tidak sama. Ambilah contoh! Sebuah kesatuan masyarakat (sebagai materi), hidup disebuah kawasan Asia (sebagai ruang) dalam kurun waktu beberapa decade yang lalu, mereka disebut dengan sebutan Burma. Kesatuan masyarakat tersebut sampai sekarang masih sama, mereka juga berdiam di ruang yang sama seperti waktu-waktu sebelumnya. Namun karena perubahan kurun waktu, ternyata sebutan mereka pun menjadi berubah. Dari Burma menjadi Myanmar! Demikian halnya dengan sebutan Cina. Sebutan ini tidak lestari. Misalnya sejak adanya pihak yang disebut, sebutan itu akan terus menjadi sebutannya, sampai seandainya dunia mungkin kiamat nanti. Kesatuan besar masyarakat manusia yang hidup disalah sebuah kawasan Asia yang oleh lidah bangsa rumpun Melayu disebut Cina, tidak sejak dahulu disebut begitu oleh bangsa rumpun Melayu itu itu sendiri. Apa sebutan mereka sebelum disebut sebagai Cina oleh lidah bangsa rumpun Melayu? Para ahli sejarahlah kiranya yang bisa memberikan jawaban. Mungkin mereka pada masa itu disebut sebagai orang Tang mengacu pada dinasti Tang yang terkenal menghasilkan puisi-puisi terkenal di samping produk porselein. Atau mungkin Sangley (lihat Sangley di Filipina dan Cino di Indonesia,dalam Sinergi edisi ke-2) Yang pasti, kenyataan bangsa rumpun Melayu sendiri tidak diam statis melainkan bergerak dinamis. Hal yang menyebabkan bangsa rumpun Melayu ini sendiri memperoleh sebutan yang tidak sama. Sebagian kecil, memperoleh sebutan Brunei Sebagian yang lebih besar disebut Malaysia. Dan sebagian yang lebih besar lagi, disebut Indonesia Sebutan yang niscaya tidak sama dengan sebutan masing-masing di masa-masa lalu Dan mungkin juga di masa yang akan datang. Mengingat diantara sekian banyak faktor, sebutan itu biasanya melekat seiring dengan daya atau kekuatan yang mendukung eksistensi masyarakat manusia yang menerima sebutan bersangkutan. Indonesia misalnya. Adakah sebutan ini sudah melekat sejak dahulu kala, di mana kita senang disebut atau bangga menyebut diri kita sebagai Indonesia? Rasanya tidak!. Ketika kita disebut Inlander, bukankah ada masanya kita ragu-ragu meluruskan sebutan itu dengan Indonesia? Bukankah ada masanya kita lebih bangga menyebutkan diri kita sebagai kawula Sriwijaya, Majapahit atau kawula Mataram, ketimbang Indonesia? Demikian halnya dengan bangsa atau masyarakat manusia yang oleh lidah rumpun Melayu sekarang disebut sebagai Cina. Ternyata oleh bangsa Eropa dahulu, kesatuan masyarakat manusia atau bangsa ini pernah disebut dengan perkataan Serica, yang di dalam lidah kita berbunyi dan berarti sutera. Karena masyarakat penyebutnya, menyebut kesatuan besar masyarakat atau bangsa dimaksud berdasarkan produk unggulan yang dihasilkan orang Tiongkok semasa itu. Yaitu, sutera.

PERBENDAHARAAN KATA CHINA/CINA PRODUK KAPITALISME
Ketika sejarah perkembangan masyarakat manusia beringsut meninggalkan masa zaman pra industri, dan masuk ke zaman industri, sepenuhnya hal ini terjadi di kawasan Eropa. Walau kala itu industri masih tumbuh sebatas di Eropa saja, namun bagaimanapun dampak industri kapitalisme memang telah mulai mengubah wajah dunia. Betapa tidak. Kalau kenyataannya di masa zaman pra industri, untuk memproduksi sebatang jarum orang membutuhkan waktu berhari-hari, ternyata di zaman industri kapitalisme, dalam 1 jam beratus-ratus jarum dapat dihasilkan. Konsekwensinya, kelebihan hasil produksi tersebut menuntut adanya pasar sebagai muara dimana berbagai hasil produksi dialirkan ke dalamnya. Ketika pasar di dalam Eropa mulai tak mampu menampung produk industrinya sendiri, mulailah dilakukan penjelajahan dunia. Untuk mencari negeri yang di samping bisa berfungsi sebagai pasar penyerap produk industrinya, juga sekaligus berperan sebagai sumber bahan mentah dan sebagai sumber tenaga kerja murah pula. Dalam hal ini rata-rata negeri industri di Eropa meyakini, negeri yang demikian itu adalah Tiongkok. Mengapa? Karena masa itu Tiongkok diyakini merupakan negeri yang kondisi standar hidup masyarakatnya berada pada posisi yang dapat dikategorikan mewakili puncak kehidupan tingkat akhir zaman pra industri, yang lazim dikenal sebagai zaman feodalisme. Pada kenyataannya Tiongkok masa itu merupakan negara feodal terkuat di dunia. Hal yang tercermin penuh pada tingkat peradabannya. Bayangkan betapa tingginya kemakmuran dan kejayaan feudalisme di Tiongkok semasa itu. Kalau saja kita merenungi. Mesiu, barang yang oleh masyarakat Eropa dianggap luar biasa nilainya, di negeri masyarakat penemunya justru hanya dijadikan barang hiburan. Seperti petasan atau kembang api. Tegasnya, hanya di dalam masyarakat yang taraf hidupnya telah mencapai tingkat peradaban mapan yang mampu menghadirkan suasana
tenteram dalam segala kecukupan materi sajalah yang sanggup mensepelekan benda berharga seperti mesiu tidak dimanfaatkan sebagai alat memcapai sesuatu yang dapat meningkatkan kejayaan dan kemakmuran negeri dan rakyatnya, melainkan difungsikan hanya sekedar barang mainan belaka. Ya, hanya pada sebuah masyarakat yang tingkat kemakmuran dan peradabannya telah tinggi sajalah yang mungkin dapat berbuat seperti yang diperbuat Tiongkok. Sebuah tingkat peradaban yang semasa itu sampai-sampai dijadikan lambang ukuran status sosial masyarakat Eropa terkemuka di negeri masing masing, antara lain sutera, teh dan porselein adalah produk Tiongkok yang menjadi lambang status sosial yang tinggi bagi masyarakat atas Eropa pada masanya. Pada masa-masa ini dunia belum mengenal sebutan China atau Cina.

INGGRIS MARAH DAN DENDAM, PADA TIONGKOK
Masa itu adalah masa ketika semua orang asing yang menghadap kaisar Tiongkok, harus melalui proses bersembah menyentukan jidat ke lantai (kotow), Sebuah tradisi yang menggambarkan betapa tingginya posisi masyarakat Tiongkok yang diwakili oleh kaisarnya dalam hubungan dengan dunia luar.

Melalui proses waktu yang panjang, Inggris tumbuh berkembang menjadi negara industri termaju. Jadi Inggris pun sangat ngiler untuk bisa menjadikan Tiongkok sebagai negeri pasar bagi produk industrinya. Maka pada kurun waktu tertentu,tercatatlah sebuah peristiwa. Konon, di Tiongkok bertahta kaisar Kian Liong(1735-1795). Kaisar besar dan handal kedua setelah kakeknya, jaisar Kang Hie menjadi kaisar besar pertama dari dinasti Ching. Sementara pada zaman bersamaan, di Inggris bertahta Raja George III. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dari industrinya yang paling maju diantara sesama negeri industri di Eropa, maka dengan disertai iringan berpeti-peti hadiah yang semuanya merupakan produk industri negerinya, Raja George III mengirim utusan datang ke Tiongkok, menyampaikan suratnya kepada kaisar Tiongkok.
Utusan Inggris yang merasa datang dari sebuah negeri industri maju, merasa tidak patut untuk kow tow di hadapan kaisar Tiongkok seperti dilakukan oleh kebanyakan utusan negeri Eropa yang lain. Terjadilah negosiasi sebelum utusan tersebut menghadap kaisar Tiongkok. Hasilnya, utusan Raja Inggris diperbolehkan memberi hormat kaisar Tiongkok seperti ia memberi hormat pada rajanya sendiri. Yaitu hanya menekuk sebelah lutut. Tidak sepenuhnya berlutut menyentuhkan jidat ke lantai Dalam suratnya, Raja George III meminta kepada kaisar Tiongkok untuk dapat menerima duta tetap dari kerajaan Inggris, memberikan izin kapal-kapal Ingris berlabuh dan berniaga di banyak pelabuhan di samping pelabuhan Kanton. Izin berdagang dan menimbun barang di Beijing. Izin untuk mengembangkan agama. Kesemua permintaan Raja George III tersebut titolak oleh Kaisar Kian Liong. Atas penolakan kaisar Kian Liong pada semua yang dikehendaki Raja Inggris tersebut, tentu saja tidak hanya membuat kecewa Raja Inggris, pun membuat Raja George III merasa gusar karena merasa sangat direndahkan. Semua keinginannya untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan Tiongkok, semuanya ditolak. Sayangnya, betapa kecewa dan gusarnya menerima perlakuan Kaisar Tiongkok, di mana semua sovenir Raja George III dari Inggris diterima kaisar Tiongkok sepenuhnya hanya sebagai tanda upeti, toh Inggris hanya bisa memendam rasa kesal dan dendam. Kala itu Inggris belum punya keberanian untuk berlaku kasar dan keras kepada Tiongkok. Jadilah Inggris sampai pada wakktu itu belum berhasil menyebut Tiongkok sebagai China. Konsekuensinya lidah bangsa rumpun Melayu pun belum menerima perbendaharaan kata baru China tersebut, yang dilaraskan dengan lidahnya sendiri sebagai C i n a

PERKATAAN CHINA, BUAH KEKALAHAN TIONGKOK DALAM PERANG CANDU
Tapi enam-tujuh puluh tahun kemudian dari masa Raja Inggris, George III, dilecehkan oleh Kian Liong, kaisar ke-3 dinasti Ching, Maka berkat revolusi industri di Eropa, industri Inggris maju melompat ke depan. Membawa Inggris ke posisi adi daya dunia pertama di dunia kala itu. Dalam posisinya yang demikian itu, oleh tuntutan kebutuhan pasar bagi produk industrinya, Inggris kembali mengincar Tiongkok. Dihantui oleh rasa kurang percaya diri apakah bisa secara langsung dapat memaksa Tiongkok membuka diri, maka terjadilah. Inggris memberi contoh kepada barang siapa di dunia ini ingin mencapai tujuanya, untuk menghalalkan segala cara. Jadi penghalalan segala cara, menurut sejarahnya adalah alat politik kapitalisme untuk mencapai kepentingannya. Alat politik yang untuk pertama kalinya dipraktekkan oleh bangsa/negara kapitalis termaju pada zamannya, yaitu Inggris. Dan kalau namanya alat politik, biasanya memang tidak mempedulikan masalah etika dan moral. Demikianlah Inggris yang dari Tiongkok menerima dan menikmati daun teh, membalas budi kepada masyarakat Tiongkok dengan daun candu, yang terlebih dahulu telah banyak ditanam di India, setelah negeri bersangkutan berhasil dikuasainya.

Demikianlah. Setelah penduduk Tiongkok berhasil dibikin teller melalui candu. Para birokratnya pun mulai diam-diam getol berdagang candu gelap, maka moral Konfusianisme yang telah eksis selama ribuan tahun lamanya, runtuh berguguran. Di mana keruntuhan moral tersebut telah berakibat membuat tercabut keluarnya kekuatan bangsa tersebut baik secara fisik maupun mental. Dalam kondisi demikian, maka ketika Inggris datang untuk kedua kalinya memaksa Tiongkok agar membuka diri untuk dijadikan pasar bagi produk industrinya, maka Inggris tidak menemui kesukaran apapun. Karena kondisi bangsa di negeri tersebut telah berubah menjadi bagai masakan tahu dalam piring, yang tidak memerlukan tenaga untuk menyendoknya dan kemudian menyuapkannya ke mulut serta menelannya. Dengan amat mudah Tiongkok dikalhakan oleh Inggris dalam perang Candu.

Demikianlah akibat kekalahan perang candu tersebut, maka lahir persetujuan Nan King (1842) dan sejumlah persetujuan-persetujuan lain sebagai akibat kekalahan Tiongkok dalam Perang Candu tersebut. Sejak itu, Tiongkok berubah menjadi dipandang hanya sebagai negeri sumber penghasil bahan baku dan pasar produk industri negeri para penakluknya. Selain Inggris, kapitalisme Jerman, Belanda,Portugis, AS, Rusia dan Jepang dll. Ramai-ramai menjarah-rayah Tiongkok. Di bawah tekanan keroyokan negeri-negeri kapitalis, Tiongkok benar-benar terpuruk. *Harus membayar ganti rugi kepada Inggris atas candu yang musnah terbakar dalam perang candu, serta seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh Inggris untuk membiayai perang candu tersebut. Ganti rugi yang telah menyeret Tiongkok ke dalam jurang utang internasional yang tak
mungkin terlunasi. *Keunggulan militer bangsa-bangsa Barat memberikan pengaruh maupun dominasi politik dan ekonomi yang negatif pada kehidupan bangsa dan rakyat Tiongkok. Hal-hal tersebut merupakan faktor pendukung memasyarakat-luasnya pemakaian istilah China yang di berikan Inggris sebagai pemenang perang, kepada Tiongkok yang telah total dikalahkannya. Jadi istilah sebutan China memang terjadi dalam kondisi ketiadaan keseimbangan antara Inggris sebagai pemberi nama dan Tiongkok si penerima sebutan. Inggris dalam puncak kejayaan sebagai adi daya dunia, sedangkan Tiongkok dalam posisi yang lemah selemah-lemahnya. Sampai di sini kita boleh tarik kesimpulan, bahwa perkataan China yang dalam lidah rumpun bangsa Melayu memperoleh pelarasan lafal menjadi Cina, baru dikenal dalam masyarakat dunia sejak dikalahkannya Tiongkok oleh Inggris di dalam perang candu. Barangkali Perjanjian Nanking (1842) bisa kita jadikan tonggak waktu, kapan istilah Cina atau Cino berawal.

APA DASAR PEMBENTUKAN ISTILAH CHINA ATAU CINA?
Salah satu pertimbangan yang dipakai untuk resmi menggunakan istilah Cina sebagai pengganti istilah Tiongkok dan Tionghoa seperti dikemukakan dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera. Tentang Masalah Cina Nomor: SE-06/Pres.Kab/6/1967, tertanggal Jakarta, 28 Juni 1967- adalah, bahwa ras Cina itu pernah berada di bawah pemerintahan dinasti Chi’n..Padahal Tiongkok tidak hanya pernah diperintah dinasti Chi’n. Ada banyak dinasti yang pernah memerintah Tiongkok. Seperti dinasti Hsia (2205-1766 SM), dinasti Shang (1766-1122 SM), dinasti Chou (1122-249 SM), dinasti Chi’n (220-206 SM), dinasti Han Barat (206-25 SM), dinasti Han Timur (25SM-221M), dinasti Enam -Wei, Shu, Chin Barat, Chin Timur,Liu- (220-589 M}, dinasti Sui (581-618), dinasti Tang (618-906M), dinasti Sung (960-1279M), dinasti Yuan (1279-1368M), dinasti Ming (1368-1644M), dan dinasti Ching (1644-1911M).
Tentu, kita terangsang untuk bertanya. Mengapa dinasti Chi’n yang masanya terpendek (220-206SM) digunakan sebagai dasar untuk membentuk sebutan China-Cina? Bukankah dinasti Ming lebih layak. Karena bukan saja kurun masanya lebih dekat, pun di dalam dinasti ini hubungan Tiongkok-Nusantara berlangsung cukup intens. Laksamana Chengho berkali-kali melakukan pelayaran laut ke Nusantara. Periode hubungan ini malah meninggalkan bukti-bukti sejarah seperti Kelenteng Gedung Batu di Semarang, kelenteng di Welahan. Kelenteng di mana salah seorang pahlawan nasional kita R.A.Kartini pernah memperoleh kesembuhan mukjizat, disembuhkan dari sakit yang dideritanya, setelah sebelumnya gagal menjalani pengobatan konvensional. Sehingga sejak itu R.A. Kartini menyebut dirinya sendiri sebagai Bocah Budha yang selalu pantang memakan makanan yang berasal dari mahluk berjiwa. Seperti diceritakannya sendiri dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, salah seorang sahabatnya. Bahkan,malah kisah kesasteraan Dampo Awang atau Sam Po Kong telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesasteraan seni drama Ketoprak di Jawa, yang cukup populer. Lalu, mengapa Pemerintah ORBA kok justru memilih dinasti Chi’n yang masa kuasanya bahkan lebih singkat ketimbang masa kuasa ORBA sendiri? Padahal Sekretaris Presidium Kabinet Ampera Brigjen.T.N.I. Sudharmono, S.H. yang menanda tangani Surat Edaran No. SE-06/Pres.Kab/6/1967 dapat dipastikan belum tentu beliau benar-benar tahu seluk beluk dinasti Chi’n tersebut. Jadi, apakah sebenarnya dasar yang melatarbelakangi pengubahan sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina itu?, Apakah tidak sama dengan Inggris semasa ia menamakan manusia dan negeri tersebut sebagai China? Yaitu posisi di atas angin. Sama denga posisi Ingris ketika baru saja berhasil mengalahkan Tiongkok, ORBA yang baru saja mengalahkan ORLA, yang karena prasangka rasialnya yang kebablasan, berangggapan bahwa komunitas Tionghoa Indonesia disebabkan oleh faktor kesamaan ketionghoaan menjadi potensial sewaktu-waktu bisa bertindak sebagai kaki-tangan RRT, yang merupakan musuh besar bagi negara-negara majikan ORBA, yang oleh karenanya mentalnya harus segera dihancurkan dengan cara mengubah sebutan Tionghoa menjadi Cina disertai dengan berbagai tindakan-tindakan pemusnahan segala yang berbau Tionghoa. Seperti dilarangnya bahasa mandarin, atau pergi beribadah ke kelenteng dlsb. Jadi sebutan China oleh Inggris pada pertengahan abad XIX maupun Cina oleh rezim ORBA pada tahun 1967, kesemuanya adalah tindakan politik yang dilakukan oleh sebuah kekuatan politik yang berkuasa terhadap pihak lemah yang berada dalam genggaman kuasanya. Sudah barang tentu sepenuhnya semuanya kental beraroma pelecehan. Semoga dengan ini para pihak yang selama ini bertahan pada pendapat bahwa penolakkan disebut Cina sebagai sikap arogan, mulai bisa melihat, bahwa nuansa pelecehan tersebut memang cukup kental. Kalau tidak, untuk apa rezim Orba di tahun 1966/1967 (Seminar AD II Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dan Presidium Kabinnet Ampera , 28 Juni 1967) ditengah-tengah tingginya kesibukan melakukan konsolidasi kekuasaan yang masih belum mantap, lalu berperilaku seperti orang kurang pekerjaan, iseng mengkutak-katik perubahan sebutan dari Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina? Apakah tindakan mengganti sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina memang lebih penting dari tindakan konsolidasi kekuasaan yang baru diraihnya? Pertanyaan yang salah! Karena tindak penghancuran mental Tionghoa dengan penggantian sebutan Tionghoa menjadi Cina dan berbagai tindakan yang mengiringinya seperti disebut di atas, adalah justru bagian dari tindakan Rezim Orba untuk mengkonsolidasi kekuasaan politik yang baru saja diraihnya, melalui media peristiwa pollitk G 30 S tahun 1965. Sampai di sini semoga perdebatan tentang sebutan Cina atau Tionghoa diantara sesama korban kebrutalan rezim Orba. Disudahi.Selanjutnya bersatu guna bersama-sama memperjuangkan dicabutnya SE-06/Pres.Kab/6/67 dan kemudian biarkan kedua sebutan kembali seperti sebelum terjadinya peristiwa G 30 S, dipergunakan secara berbarengan sebagai perbendaharaan kata komunikasi saja, tanpa nuansa politis apapun

APA MAKNA KATA TIONGHOA DAN KAPAN IA DIKENAL?
Seperti kata Indonesia, kata Tionghoa mengandung semangat dan makna
berjuang membebaskan diri baik dari feudalisme maupun terutama dari
penindasan imperialisme. Agar bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain siapapun di dunia ini. Kata Indonesia yang secara resmi menjadi nama sebuah bangsa baru dikawasan Nusantara diperkenalkan oleh Adolf Bastian, terjadi pada pertengahan abad XIX. Jadi sebelum itu di dunia ini tidak ada yang tahu kalau penduduk yang sekarang mendiami NKRI ini bernama Indonesia. Merujuk kepada arti kepulauan penghasil rempah-rempah, Belanda menamakannya sebagai Hindia Belanda. Maknanya kepulauan penghasil rempah milik Belanda. Bukan Indonesia.

Demikian halnya dengan nama Tionghoa. Sebelum awal abad XX tidak ada orang yang mendengar atau mengenal bangsa berjumlah terbesar di dunia tersebut dengan nama Tionghoa. Mengapa? Karena bangsa terbesar jumlah warganya itu tidak menyebut diri sebagai bangsa Tionghoa, melainkan menyebut dirinya sendiri sebagai bangsa Han. Dan bangsa Han tentu tidak sama dengan bangsa Tionghoa. Karena kalau seperti bangsa Indonesia yang tidak identik dengan Jawa, demikian pula bangsa Tionghoa tidak identik dengan bangsa Han. Bangsa Tionghoa terdiri dari semua suku-suku bangsa termasuk suku Mancu di samping Han sebagai suku bangsa terbesar di negerinya. Sebelumnya, bangsa Han pantang mengakui suku Mancu sebagai bagian dari bangsanya. Walau pun Mancu dalam fakta sejarahnya pernah berkuasa pada dinasti terakhir di negeri itu cukup lama (1644-1911M)

Bagaimana bangsa Han bisa berubah menjadi bangsa Tionghoa?
Bangsa dengan jumlah warga terbesar yang berdiam di daratan Asia itu
tergolong salah satu bangsa tertua dengan perdaban tinggi di dunia, yang terbius oleh kemakmuran hidup dan ketinggian peradabannya menjadi cenderung memandang rendah bangsa-bangsa di luar dirinya sendiri. Kecenderungan yang membuat kurangnya kesediaan melihat dan mengakui perubahan zaman. Membuat bangsa ini tidak mengetahui, bahwa bangsa Inggris yang pernah dilecehkannya pada perempat terakhir abad XVIII, sejak perempat pertama abad XIX telah melejit menjadi negeri industri termaju di dunia yang telah mengantarkannya pada kedudukan adi daya dunia yang pertama. Kemakmuran, ketinggian peradaban serta keangkuhan bangsa berjumlah penduduk terbesar di dunia tersebut, telah membuat negeri-negeri industri yang sama-sama ingin menjadikannya menjadi pasar produk industrinya masing-masing, bersatu. Bahu-membahu menaklukkannya. Sejak jauh waktu negeri ini ditaklukkan negeri-negeri industri, telah banyak bangsa dan negeri ditaklukkan oleh bangsa-bangsa Barat terlebih dahulu. Pada umumnya sebuah bangsa dan negeri dikuasai oleh sebuah bangsa dari negeri industri. Berbeda dengan itu adalah bangsa berpenduduk terbesar didunia itu. Negerinya dikapling-kapiling oleh negeri-negeri pengeroyoknya. Inggris, Perancis, Jerman, Portugis, Belanda, Rusia, AS, Jepang dll. Dalam kondisi demikian, berlakulah hukum alam. Semakin keras bola dibanting ke lantai, semakin tinggi bola tersebut akan melenting ke atas. Tak syak lagi akibat tingginya intensitas keroyokan negeri-negeri Barat tersebut, membuat kebangkitan rakyat negeri itu relatif terjadi lebih cepat.

Demikianlah, rakyat dari bangsa yang negerinya kita sebut Tiongkok, yang relatif lebih belakangan dikalahkan dan dikuasai oleh sejumlah negeri imperialis, relatif pula bangkit lebih awal ketimbang sesama bangsa terjajah lainnya. Kalau Perjanjian Nanking (1842) kita jadikan tonggak waktu kekalahan dan kehancuran Tiongkok dan Gerakan Pembaharuan 100 Harinya Kang Yu Wei (1898), juga Gerakan Tinju Keadilan/Boxer dan gerakan kebangkitan nasionalnya Sun Yat Sen kita jadikan tonggak waktu kebangkitan dan kemenangan, ternyata prosesnya perjuangan mengubah kedudukan dari bangsa terjajah dan terhina kembali menjadi bangsa terpandang yang setara hanya terjadi dalam periode waktu setengah abad. Tidak berabad-abad seperti kebanyakan bangsa terjajah/terhina lainnya. Jadi proses perubahan dari bangsa Han menjadi bangsa Tionghoa, berlangsung sejak mulai tumbuhnya semangat perlawanan terhadap orang asing, sampai berhasilnya revolusi dibawah pimpinan Sun Yat Sen, Oktober 1911. Revolusi tersebut mengakhiri monarki di Tiongkok dan menggantinya dengan republik. Yaitu Republik Tiongkok. Sayang, barangkali oleh rasa masih minder penduduk Tiongkok kepada
bangsa-bangsa Barat, maka para pemimpin republik sepertinya tidak merasa perlu meluruskan sebutan Republik of China dari negeri-negeri Barat, dengan Zhong Hua Min Guo, seperti bangsa Indonesia selalu tidak kenal lelah meluruskan sebutan Inlander dengan sebutan Indonesia. Maka akhirnya keterlanjuran sampai sekarang. Bahkan kedutaan Besar RRT dalam suratnya kepada salah satu organisasi berbasis massa Tionghoa di Jakarta, meminta agar disebut sebagai The People Republic of China dengan singkatan dalam bahasa kita menjadi RRCh. Jelas, dengan Ch, pihak kedutaan besar Tiongkok menolak disebut Cina namun memilih untuk melestarian nama pemberian penakluknya, Inggris. Pihak Kedutaan Besar Tiongkok seolah bersilat lidah bahwa kata China sama sekali berbeda arti dengan kata Cina. Padahal keduanya sami mawon. China yang lidah Inggris dilaras dalam lidah melayu menjadi Cina, sebutan yang ditolak oleh pihak Kedubes Tiongkok. Kita dibuat senyum kecut. Karena seperti disuguhi dagelan yang tidak lucu! China? OK. Cina? No! Padahal semestinya: Kedubes Tiongkok memluruskannya dengan meminta disebut dengan sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang lebih ringkasnya menjadi Zhong Guo atau Tiongkok. Dengan demikian pelurusan Kedubes bukannya meminta RRC diganti dengan RRCh, melainkan RRC minta agar dikembalikan menjadi RRT. Republik Rakyat Tiongkok. Karena inilah istilah yang dipakai sejak awal mula kedua negara menjalin hubungan diplomatic. RI – RRT. Bukan RI – RRC atau RI-RRCh.

TIONGHOA ADALAH KHAS NAMA SEBUAH ETNIK DI INDONESIA
Penjajah ternyata tidak menggunakan pola seragam dalam memperlakukan
masyarakat masing-masing negeri jajahannya. Hal ini menyebabkan yang dialami komunitas Tionghoa di berbagai negeri jajahan di Asia Tenggara misalnya tidaklah sama. Dasar sejarah inilah yang menerangkan mengapa apa yang dialami oleh komunitas Tionghoa di bekas negeri jajahan Inggris dan Spanyol di Tanah Melayu dan Filipina, tidak sama dengan yang dialami komunitas Tionghoa di bekas jajahan Belanda. Semua masyarakat terjajah/tertindas sama, menderita. Namun belum tentu penderitaan komunitas Tionghoa di bawah penjajah Inggris dan penjajah Spanyol, sama kadarnya dengan yang dialami komunitas Tionghoa di bawah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Ketingian kadar derita yang di alami komunitas Tionghoa di Hindia Belanda inilah kemungkinan besar yang menjadi factor pembeda. Kenapa pengaruh Gerakan Pembaharuan 100 Hari Kang Yu Wei, Gerakan Tinju Keadilan/Boxer, dan Gerakan Kebangkitan Nasional Sun Yat Sen, di akhir abad XIX dan awal abad XX, tidak membuat bangkitnya komunitas baik di Tanah Melayu maupun di Filipina, namun tumbuh subur di Hindia Belanda.

Pengaruh ketiga gerakan di Tiongkok akhir abad XIX dan awal abad XX, di Hindia Belanda segera merupa dalam wujud berdirinya Rumah Perkumpulan Tionghoa atau Tiong Hoa Hwee Koan pada 17 Maret 1900 di Batavia. Setahun kemudian, bak cendawan di musim hujan, di banyak kota di Jawa berdiri sekolah-sekolah yang juga bernama Tiong Hoa Hwee Koan. Tidak hanya sekolahan-sekolahan Tiong Hoa Hwee Koan berdiri, juga surat-surat kabar yang pada umumnya berbahasa Melayu-Tionghoa bermunculan. Termasuk surat kabar yang kemudian paling handal, Sinpo, muncul terbit oleh dorongan kebangkitan nasionalisme Tionghoa yang semula bersumber dari bumi Tiongkok

Api yang membakar semangat komunitas Tionghoa di Hindia Belanda untuk bisa berbuat sama dengan para pejuang nasionalis di Tiongkok,agaknya sama sekali bukan faktor kesamaan ketionghoaan, melainkan sepenuhnya oleh faktor keinginan komunitas Tionghoa Hindia Belanda untuk dapat segera lepas dari penderitaan penindasan Belanda. Terbukti, kalau faktornya kesamaan ketionghoaan, mengapa di Malaya/Malaysia dan Filipina tidak juga bertumbuhan Tionghoa Hwee Koan setempat. Mengapa Tiong Hoa Hwee Koan hanya tumbuh di Hindia Belanda?. Demikianlah halnya yang akan terjadi. Seandainya pemerintah dan bangsa kita gagal meredam suhu diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa di negeri ini meningkat dan meningkat, maka terutama mereka yang berkemampuan dari komunitas Tionghoa di negeri ini akan berpaling kiblat ke negeri-negeri lain, yang dipercayainya akan menjadi tanah harapan baru. Dan kalau ini terjadi, pastilah ini tidak disebabkan faktor ketionghoaan. Karena tanah harapan barunya belum tentu Tiongkok, melainkan ke Amerika, Australia atau New Zealand. Maka akan tertinggalah komunitas Tionghoa yang tersisa tinggal di negeri ini, lapisan mereka yang berekonomi lemah, dan juga berSDM lemah. Karena seandainya mereka tidak lemah, maka oleh pekatnya polusi udara diskriminasi, merekapun boleh dipercaya juga akan tergoda mencari tanah harapan baru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi.

Maka logikanya, seandainya dalam kondisi ketertindasannya di Hindia Belanda dahulu, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia tumbuh lebih dahulu dari gerakan serupa yang tumbuh di Tiongkok, maka dapat dipastikan kalau komunitas Tionghoa di Hindia Belanda niscaya akan menyatukan dirinya dengan gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Karena sesungguh dan sebenarnya, baik penyatuan diri atau penerimaan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda terhadap gerakan kebangkitan nasional di Tiongkok maupun terhadap gerakan kebangkitan nasional Indonesia -seandainya yang disebut belakangan ini muncul sebelum yang timbul di Tiongkok- kesemuanya bermotivasi tunggal. Yaitu ingin selekasnya membebaskan diri dari belenggu penindasan kolonialisme Belanda. Motivasi inilah yang membuat komunitas Tionghoa di
Hindia Belanda pasti akan segera menyatukan diri dengan gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seandainya gerakan semacam ini lahir lebih dahulu dari yang lahir di Tiongkok. Begitulah, karena nyatanya gerakan pembebasan nasional terlebih dahulu muncul di Tiongkok, maka komunitas Tionghoa yang sudah engap dengan penindasan kolonialismne di Hindia Belanda, segera mudah saja menerima ide nasionalisme yang andaikan cahaya, bersinar-sinar memancar keseluruh pelosok negeri terjajah di seluruh dunia. Karena dalam logikanya, dengan adanya Tiongkok baru yang kuat, komunitas Tionghoa di Hindia Belanda dapat berharap, kolonialisme Belanda tidak terlalu semena-mena memperlakukan dirinya. Untuk alasan inilah komunitas Tionghoa di Hindia Belanda menerima konsep Tionghoa. Yang sama dengan konsep Indonesia. Konsep Tionghoa tersebut mengandung semangat dan makna nasionalisme. Yaitu semangat selalu siap melawan penindasan demi mencapai kedaulatan diri sebagai sebuah bangsa atau komunitas yang setara dengan bangsa-bangsa atau komunitas-komunitas lain.

Dengan demikian, walaupun benar konsep Tionghoa diadopsi dari Tiongkok,
namun sebutan Tionghoa pada kenyataannya adalah sebutan khas untuk komunitas bersangkutan di Indonesia. Sebagaimana faktanya, kecuali hanya di profinsi Fujian, Tiongkok, kita boleh tanya, apakah penduduk Taipeh mengenal Tionghoa? Apakah penduduk Beijing mengenal Tionghoa? Apakah penduduk Hongkong mengenal Tionghoa? Saya kira tidak! Apa lagi di tempat-tempat di luar ketiganya. Seperti di negeri-negeri Barat bahkan Asia Tenggara, dari mulai Indocina, Muangtai, filipina , Malaysia dan bahkan Singapura, rasanya mereka lebih mengenal China/Cina ketimbang Tionghoa. Karena itu kata Tionghoa dapat diyakini khas sebutan etnik yang berleluhur di daratan Tiongkok untuk Indonesia. Dengan demikian Tionghoa adalah nama salah satu etnik anggota bangsa Indonesia seperti halnya dengan etnik Jawa, Sunda, Aceh, Minang, Batak, Bali dll, yang tersebar menghuni segenap pelosok bumi Indonesia. Karena itu kepada semua saja yang mengaku warga bangsa Indonesia, yang di satu sisi dengan mudah bisa menerima etnik-etnik lain seperti etnik Badui, Sakai, sampai etnik terasing namun di lain pihak menggap etnik Tionghoa sebagai bangsa asing, nyata, mereka belum mengerti apa itu Indonesia! Walaupun yang bersangkutan lantang mengaku dirinya sebagai bangsa Indonesia. Demikian halnya dengan komunitas Tionghoa sendiri. Selama perasaan mereka persis seperti yang sering disuarakan lapisan elit komunitas Tionghoa seperti yang sering mereka suarakan, yang dalam nada kegembiraannya sering berkata, sekarang kita sudah diterima sebagai suku Indonesia. Artinya yang bersangkutan sendiri sebelumnya tidak merasa sebagai salah satu etnik anggota bangsa Indonesia. Sehingga ketika tiba waktunya ia merasa diterima sebagai suku Indonesia, perasaannya seperti orang yang baru selesai mengurus naturalisasi. Di dalam dirinya pun tetap tersimpan perasaan sebagai orang Indonesia yang baru. Ini adalah perasaan yang perlu diperbaiki. Bahwa etnik Tionghoa di Indonesia sudah merupakan bagian dari tubuh bangsa Indonesia. Kalau toh pada kenyataannya ada pihak-pihak yang menyangkali kebenaran akan hal itu, hal tersebut adalah masalah politik sesat, yang harus diluruskan. Dan perjuangan meluruskan masalah politik yang sesat itu, janganlah membuat komunitas Tionghoa sendiri mudah larut dengan cara mudah merasa bahwa keberadaan dirinya di negeri ini adalah tamu. Komunitas Tionghoa bukan tamu dalam bangunan tubuh bangsa Indonesia. Apakah ia tulang paha, tulang lengan, tulang punggung atau tulang rusuk, komunitas Tionghoa adalah salah satu tulang dari tubuh bangsa Indonesia. Jangan minder! Justru salah satu makna dari kata Tionghoa yang tumbuh pada awal abad XX, adalah semangat dan tekad untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa/komunitas lain berdasarkan prinsip kesetaraan.

Akhirnya mari kita sudahi tulisan ini dengan sebuah kesimpulan. Sebutan kata Cina dan Tionghoa tidak sejak dahulu mula memang sudah ada. Keduanya baru muncul dikenal oleh masyarakat manusia, setelah sejarah perkembangan masyarakat meninggalkan zaman pra industri dan memasuki tahap perkembangan zaman industri. Industri yang produknya memerlukan adanya tempat yang disebut pasar. Pasar, yang untuk mendapatkannya, segala cara dihalalkan. Dalam rangka membuka negeri Tiongkok menjadi pasar produksi industri kapitalisme itulah lahir istilah China, sekitar pertengahan abad XIX. Jadi kata China berlepotan dengan Lumpur penderitaan dari penjajahan, sedangkan kata Tionghoa ia lahir sebagai panji yang melambangkan semangat perlawanan terhadap penjajahan asing. Sebagai panji yang melambangkan semangat yang mendambakan kesetaraan kedudukan sesama manusia

Sebagai panji yang melambangkan semangat sebuah masyarakat yang menolak untuk terus menerus hidup dibawah penindasan, apapun bentuknya. Dan yang demi itu siap berjuang untuk mendapatkannya. Kata Tionghoa ini mulai dikenal didunia lewat gerakan pembebasan nasional.

Di Tiongkok pada awal abad XX. Sedangkjan kata Cina semula ia tidak mengandung nuansa apapun selain hanya sebagai sebuah perbendaharaan kata sebagai alat komunikasi. Cina hanyalah pelarasan lidah Melayu untuk kata China. Kata Cina baru bermuatan sesuatu yang tidak pada tempatnya, menyusul segera setelah terjadinya peristiwa politik yang terkenal dengan sebutan G 30 S tahun 1965. Peristiwa yang melahirkan kekuasan baru yang menamakan dirinya sebagai Orde Baru. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan baru yang diperoleh dengan jalan kekerasan tersebut, rezim Orba merasa perlu mennghancur remukan mental dan nyali politik dari semua pihak yang diprasangkai menjadi musuh-musuhnya. Secara pokok musuh-musuh Orba itu dirumuskan Partai Komunis Indonesia dan Partai Komunis Tiongkok Oleh prasangka rasialnya yang kebablasan, Rezim Orba, bahwa jalur operasi PKT adalah melalui komunitas Tionghoa di Indonesia. Karena itu untuk menghancur-remukan mental dan nyali politik kedua golongan tersebut, maka rezim Orba membentuk dua lembaga. Yang satu disebut lembaga KOPKAMTIB. Lembaga ini berperan sebagai mikroskop, yang menempatkan semua saja yang dicurigai berindikasi PKI, diletakkan dibawah lensanya, untuk terus-menerus dideteksi. Yang satu lagi lembaga yang disebut Badan Koordinasi Masalah Cina, sebagai kelanjutan dari lembaga yang bernama Staf Chusus Urusan Tjina (SCUT). Lembaga ini sama berperan sebagai mikroskop yang meletakkan komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai mikrobanya. Mereka selalu dideteksi. Anehnya kalau lembaga yang berususan dengan PKI (KOPKAMTIB) sudah lama dibubarkan, sebaliknya lembaga yang selalu memikroskopi komunitas Tionghoa belum juga dibubarkan. Padahal pemerintahan produk reformasi telah berganti presiden tiga kali. *) Ketua Umum LKSI